Sabtu, 31 Juli 2010 | By: Adi W.B.A

Leadership Dalam Islam

Kepemimpinan Islam
Persoalan adanya reaksi terhadap kepemimpinan umat manusia sebagai khalifah Allah di atas bumi ini, menurut saya merupakan persoalan yang sudah ada semenjak Allah ingin menjadikan anak cucu Adam as. sebagai kalifahNya di bumi ini. Ada dua jenis reaksi yang muncul yang dapat kita lihat berdasarkan petunjuk yang kita dapatkan dalam ayat-ayat Allah. Pertama, bentuk reaksi yang muncul yang diwakili oleh para malaikat. Malaikat sempat protes kepada Allah, karena sangsi akan kemampuan manusia dalam mengemban amanah tersebut. Kedua, adalah reaksi penolakan yang diperlihatkan iblis ketika Allah memerintahkannya untuk sujud kepada Adam as. Ada perbedaan mendasar yang melatarbelakangi ke dua reaksi tersebut. Keraguan malaikat dilatarbelakangi oleh keterbatasan pengetahuannya tentang kemampuan atau kualitas-kualitas yang dimiliki oleh manusia. Baru setelah Adam menjelaskan “nama-nama” kepada malaikat sebagaimana diperintahkan Allah, sadarlah malaikat dan akhirnya menerima sepenuhnya ke khalifahan Adam tanpa keraguan lagi. Kemampuan Adam untuk menjelaskan tentang nama-nama ini menunjukkan kualitas potensi jiwa dan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang khalifah yang mewujud secara nyata ke dalam dirinya dalam rangka mengemban tugasnya di bumi ini. Berbeda dengan malaikat, iblis karena sombongnya, merasa bahwa dirinya lebih memilki kualitas dan kemampuan untuk mengemban amanah tersebut. Dibalik itu iblis juga menyembunyikan kedengkiannya kepada Adam, karena Allah meletakkan kekhalifan kepada Adam dan bukan kepada dirinya, padahal selama ini ia telah menunjukkan ketekenunnya bertasbih dan memuji kepada Allah. Iblis akhirnya terus meneguhkan sikap penolakannya, tidak mau bertobat dan bahkan memproklamirkan kebulatan tekadnya untuk menyesatkan manusia. Apa yang ingin saya sampaikan dibalik peristiwa tersebut adalah, bahwa persoalan Khalifah Allah, adalah persoalan yang menjadi kewenangan mutlak Allah. Sosok Khalifah adalah sosok manusia yang dipilih dan ditunjuk oleh Allah, seorang utusan Allah, dengan kualitas-kualitas & kemampuan yang dapat ia buktikan dan ia tunjukkan berkaitan dengan “nama-nama”, sehingga umat manusia dapat menyaksikannya. Penunjukkan Allah kepada Adam as. sebagai khalifah di bumi ini beserta kualitas-kualitas yang merupakan syarat mutlak bagi keberadaan seorang khalifah, sesungguhnya merupakan “benang emas” sebuah ketetapan bagi kelangsungan dan keharusan keberadaan seorang khalifah/imam setelah terhentinya pengutusan Nabi dan Rasul. Ketetapan disini tidak terbatas pada persyaratan kualitas yang harus dimiliki, tetapi lebih dari itu menunjuk kepada jati diri mereka yang memang dipilih dan ditunjuk untuk itu. Ibarat dua sisi pada satu mata uang. Dalam sejarah umat islam, persoalan khalifah/imam ini memunculkan dua keyakinan yang berbeda. Dan karena persoalan inilah sepertinya umat islam sulit untuk bersatu.


Kewajiban Mengangkat Khalifah
Sampai saat ini, perjalanan dakwah sering dihadapkan pada berbagai tantangan, rintangan, kendala, bahkan tuduhan keji dan fitnah dari pihak Barat kafir, rezim penguasa sekular, maupun dari kalangan Muslim sendiri. Tampaknya, benih kebangkitan Islam yang kian menyebar telah membuat musuh-musuh Islam juga gencar dalam menancapkan makar-makar sesat untuk membendung laju kebangkitan umat ini. Pihak Barat yang kafir itu tahu bahwa umat ini hanya akan bangkit ketika umat bersatu padu dalam sebuah institusi Daulah Khilafah yang menjamin langgengnya kehidupan Islam. Potensi ini akan terus mereka tutupi agar orang Muslim semakin menjauh dari metode kebangkitan ini. Berbagai fitnahan pun terlontar dari Barat yang kafir, mulai dari pelabelan teroris bagi pengemban dakwah sampai menebarkan racun pemikiran ke tubuh kaum Muslimin berupa paham demokrasi, HAM, liberalesme, gender dan nasionalisme. Bahkan mereka acapkali pula menyerang negara lain dengan kekuatan militer yang menjadi legal di atas jargon yang seolah tampak manis ini. Celakanya, tantangan dan rintangan dalam menghambat derap langkah perjuangan dakwah juga muncul dari kalangan Islam sendiri. Tantangan, rintangan, kendala, bahkan fitnahan dari Barat kafir terhadap perjuangan dakwah lebih disebabkan oleh ketakutan mereka terhadap kebangkitan ideologi Islam dan tegaknya kembali Daulah Khilafah Islamiyah yang akan mengancam eksistensi mereka di masa depan. Sedangkan rintangan dan fitnahan dari kalangan Islam sendiri lebih disebabkan antara lain karena kesalahpahaman akibat tidak sepenuhnya mendalami arti pentingnya eksistensi Daulah Khilafah Islamiyah bagi kaum Muslim. Dan atau disebabkan pula oleh kedengkian mereka terhadap para pengemban dakwah yang akan mengancam kekuasaan penguasa yang selama ini tidak berlandaskan Islam, walaupun mereka juga Muslim. Karena itu, tulisan ini akan mengulas sebuah hadis riwayat Muslim yang mengkhabarkan betapa wajibnya kaum Muslimin untuk mengangkat seorang Khalifah. Sehingga kita semakin memahami urgensi institusi Daulah Khilafah Islamiyah yang kian mendesak untuk kita wujudkan. Berikut saya nukilkan sebuah artikel Yahya Abdurrahman yang berjudul ”Kewajiban Mengangkat Khalifah”. Semoga pemaparan ini semakin menumbuhkan motivasi juang kita untuk berupaya melaksanakan kewajiban agung ini. InsyaAllah! Untuk melihat artikel yang telah saya sarikan tersebut, Antum rahimakumullah dapat meniliknya di salah satu postingan blog saya yang berjudul ”Kewajiban Mengangkat Khalifah” di http://frenky.web.ugm.ac.id/. Semoga bermanfaat! :wink:



Keharusan adanya kalifah atau imam atau “ulil amri” bagi ummat islam, memang sama-sama sudah kita ketahui. dan ummat islam diwajibkan untuk mentaati-nya. Al Qur’an menyatakan, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil Amri di antara kamu ...”. Uli di sini bukan menunjuk kepada seluruh ummat islam, tetapi sebagian dari ummat islam yang memiliki kualifikasi atau memenuhi persyaratan sebagai seorang pemimpin atau imam. Jadi, memang ada sebagian dari ummat islam yang memperoleh mandat dari Allah, untuk menduduki posisi sebagai pemimpin ummat atau imam. Adalah kewajiban Allah untuk menjamin keberadaan dan kelangsungan seorang imam, karena Allah telah mewajibkan bagi ummat islam untuk memberikan ketaatan kepada Imam tersebut. Al Qur’an juga memberikan ciri-ciri yang jelas menyangkut kualitas seorang Imam, sehingga ketaatan hanya diberikan kepada sosok Imam yang benar-benar memiliki kualitas-kualitas yang dijelaskan tersebut. Tidak mungkin kita memberikan ketaatan kepada sesuatu yang menyesatkan, kebodohan, kezaliman atau tidak mengindahkan syari’at, sebagaimana pula tidak mungkin kondisi-kondisi tersebut terdapat dalam sosok Imam. Selain itu, kehadiran sosok Imam merupakan suatu keharusan, karena di tangan Imam-lah, dapat terbina tatanan masyarakat dan tatanan kehidupan yang dibimbing dan dipagari oleh syari’at. Tetapi sebagaimana yang disinggung oleh sdr. Tehrani, keharusan adanya sosok Imam yang memiliki kewenangan dalam mengatur persoalan-persoalan ummat islam, membimbing dan mengarahkan ummat agar berjalan di atas jalan hidup sesungguhnya sebagaimana yang digariskan oleh Allah, telah membagi ummat islam ke dalam dua kelompok besar yang memiliki keyakinan yang berbeda menyangkut siapa yang berhak dan lewat cara bagaimana seseorang memperoleh keabsahannya sebagai Imam. Saudara kita dari mazhab Syi’i, meyakini bahwa kedudukan Imam, adalah persoalan yang menjadi hak sebagian anggota keluarga di antara keluarga Nabi (Ahlul Bait), yang penunjukkannya didasarkan kepada ketetapan Ayat dan lewat jalan wasiat secara berantai. Syi’ah menyakini bahwa hak Imam ada pada Ali Bin Abi Thalib, dan seterusnya sampai imam yang terakhir atau yang ke-12. Untuk mendalami masalah ini, kita bisa membaca buku karangan Ali Syari’ati, “Ummah dan Imamah” (penerbit, Mizan). Sedangkan ummat islam dari golongan Sunni meyakini bahwa kedudukan Imam diperoleh melalui jalan pemilihan dan pengangkatan dengan merujuk kepada peristiwa sejarah di Saqifah, setelah wafatnya Nabi saw. Baik Syi’ah maupun Sunni, mengemukakan dalil syar’i dan argumentasi akal versi mereka masing-masing untuk menjelaskan apa yang mereka yakini tersebut. Perbedaan keyakinan terhadap persoalan ini yang hingga sekarang ini, yang menurut saya, memustahilkan ummat islam untuk bersatu di bawah satu kepemimpinan. Penjelasan singkat sdr. Tehrani mengenai keberadaan kalifah dengan melihat saat pertama kali, Allah hendak menempatkan kalifah di muka bumi ini, bisa saja menjadi titik terang untuk lebih dapat mengungkap bagaimana sebenarnya petunjuk wahyu dan petunjuk Nabi saw. di dalam mendudukkan persoalan kalifah atau imamah ini. Bagi saya, sementara ini, penjelasan yang paling masuk akal mengenai konsep imamah versi syi’ah yang dapat saya terima adalah pandangan Ali Syari’ati dalam buku karangannya “Ummah dan Imamah”. Di samping itu dalam pemahaman saya sekarang ini, kualifikasi pengetahuan akan “nama-nama” sebagai persyaratan paling utama bagi seorang kalifah, yang merujuk kepada melekatnya manifestasi nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan Allah dalam diri seorang kalifah, begitu pula penguasaan ilmu dan pengetahuan yang merupakan manifestasi dari nama-nama Allah, bukanlah kualifikasi yang dapat dimiliki oleh setiap muslim secara umum, tetapi lebih kepada orang-orang pilihan yang memang dikehendaki Allah, sebagaimana berlaku pada Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul. Dan setiap muslim-pun mengakui, terlepas apakah ia dari mazhab Syi’ah atau Sunni, bahwa Ali bin Abi Thalib pada saat setelah Nabi wafat, adalah orang yang paling mengetahui rahasia-rahasia wahyu, paling zuhud, paling menjaga diri dan hatinya dari keburukan, paling tinggi ilmunya, sehingga Nabi mengatakan, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang ingin masuk ke dalam kota, maka harus melalui pintunya”. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nabi mengatakan, “Ikutilah cara-caraku dan cara-cara kalifah-kalifah yang lurus dan terpimpin”. Yang menjadi pertanyaan kita, adakah pada saat itu, seseorang yang dapat menandingi Ali dalam hal kelurusannya dan keterpimpinannya?, sementara Nabi telah mengatakan, “barangsiapa yang ingin masuk ke dalam kota ilmu, maka harus melalui pintunya”. Dialah Ali bin Bin Thalib, dan bukan yang lain. Pada saat setelah Nabi saw. wafat, maka kaum muslimpun bereaksi sebagaimana reaksi yang ditunjukkan oleh Malaikat dan Iblis ketika Allah hendak menempatkan Adam sebagai kalifah di bumi. Selebihnya, mereka mengikuti apa yang mereka tidak mengetahui ilmunya.

Sumber :http://kitasatu.16.forumer.com

0 komentar:

Posting Komentar